Senin, 23 Mei 2011

Pemikiran Tasawuf Hamzah Al-Farisi

 
A.     Riwayat Hidup Hamzah Al-Fansuri


Syeikh Hamzah Alfansuri diakui sebagai seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang caliber besar dalam perkembangan islam di nusantara dari abadnya hingga abad kini. Dalam buku-buku sejarah mengenai aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang. Dada Meurexa pernah mengatakan dalam “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” sebagai berikut:
Banyak ulama’ islam bermunculan di zaman dahulu berasal dari Fansuri juga, misalnya Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Abdul Murad, Syeikh Burhanuddin (murid Syeikh Abdur Rauf Al-Fansuri), semuanya berasal dari Barus. Syamsuddin Pasai adalah murid saja dari Hamzah Fansuri. Ini membuktikan bahwa dalam abad ke-16 saja telah tergambar dengan jelas sumber-sumber ulama-ulama besar itu berada yang masih masyur sampai sekarang.”[1]
Meskipun keberadaan Al-Fansuri diyakini para ahli, tahun dan tempat kelahirannya hingga sekarang masih belum diketahui. Ketidak jelasan riwayat Al-Fansuri ini disebabkan tidak dimasukannya nama Al-Faansuri dalam dua sumber penting Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin yang ditulis atas perintah Sultan.[2]
Berdasarkan kata Fansur yang menempel pada namanya, sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari Fansur, sebutan orang Arab tentang Barus yang sekarang mempunyai kota kecil di pantai barat Sumatra Utara yang terletak di antara Sibolga dan Singkel.
Banyak orang yang menyanggah Al-Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, dan ittihad-nya. Mereka terlalu mudah mengecapnya seorang yang zindiq, sesat, kafir dan sebagainya. Ada orang yang menyangkanya sebagai pengikut ajaran Syi’ah. Ada juga yang mempercayai bahwa ia bermadzab Syafi’i di bidang fiqh. Dalam tasawuf ia mengikuti Tarekat Syeikh Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani.

B.     Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengarahi Ibn ‘Arabi dalam paham wahdat wujud-nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainnama tawallu fa tsamma wajhu’llah” ia katakana bahwa kemungkinan untuk memandang wajah Allah di mana-mana merupakan unio-mistica. Para sufi menafsirkan”wajah Allah” seperti sifat-sifat Tuhan seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, Jamal. Dalam salah satu sya’irnya, Al-Fansuri berkata:
Mahbubmu itu tiada berha’il,
Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil,
Fa tsamma wajhullah sempurna wasil,
Inilah jalan orang kamil.[3]
Hamzah Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti ubun-ubun yang dipandangi sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.
Diantara ajaran tasawuf Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (mazhhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada, sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak itu diumpamakan gerakan ombak yang menimbulkan uap, asap, awan yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayun dari Dzat yang la ta’ayun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan dan sungai dan kembali lagi ke lautan.


[1] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al-Ikhlas, Surabaya, 1930, hlm. 35.
[2] Abdul Hadi W.M., Hamzah Al-Fansuri, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 14.
[3] Abdul Hadi W.M., “Hamzah Al-Fansuri”, dalam Ulumul Qur’an, No. 4, vol. 5, Th. 1994, hlm. 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar