Senin, 13 Juni 2011

ALIH KODE & CAMPUR KODE


A.     Alih Kode
Untuk dapat memahami pengertian alih kode dengan baik, simaklah terlebih dahulu ilustrasi dalam paparan berikut!
Dina dan Dini, keduanya berasala dari priangan, lima belas menit sbelum kuliah dimulai sudah hadir di reang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa Sunda, topi pembicaraan menyangkut masalah pelajaran. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Rara, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Sunda. Rara menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Lalu, segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa indonesia.  Tidak lama kemudian masuk pula teman-temannya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya menggunakan bahasa indonesia. Lalu, segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang, dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliahpun berlangsung dengan tertib dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam bahasa Indonesia ragam resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh percakapan berlangsung dalam ragam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa itu menjadi ramai kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap dalam bahasa daerah.[1]
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilistrasi di atas dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga sebaliknya, inilah disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Ilustrasi dan keterangan di atas telah memberi gambaran apa yang di sebut alih kode.
Appel(1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Pada ilustrasi di atas kita lihat peralihan penggunaan bahasa dari bahasa Sunda kebahasa Indonesia yang dilakukan Dina dan Dini adalah karena berubahnya situasi, yaitu dengan datangnya Rara. Situasi ”kesundaan” yang tadinya menyelimuti Dini dan Dina berubah menjadi situasi “keindonesiaan” dengan adanya Rara yang tidak mengerti bahasa Sunda, sedangkan ketiganya mengerti bahasa  Indonesia. Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab tidaklah pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti orang ketiga. Apalagi dalam ilustrasi di atas Rara lebih dulu menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Sedangkan Hymes (1875:103) Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, ia menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymes mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”.
Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagi kita bahwa pengalihan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Dina dan Dini berkenaan dengan hadirnya Rara, dan pengalihan dari ragam santai ke ragam resmi berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal (ketika perkuliahan berlangsung), adalah tercangkup dalam peristiwa yang disebut dengan alih kode. Dari ilustrasi di atas kita dapat lihat pula bahwa pengalihan kode itu dilakukan dengan sadar dan bersebab.[2]
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (1976:15), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah 1) pembicara atau penutur, 2) pendengar atau lawan tutur, 3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, 4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, 5) perubahan topik pembicaraan.[3]
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu berlatar belakang sama dengan si penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa. Umpamanya, Ani, pramuniaga sebuah toko cinderamata, kedatangan tamu seorang turis asing, yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Ketika kemudian si turis tampaknya kehabisan kata-kata untuk terus berbicara dalam bahasa Indonesia, maka Ani cepat-cepat beralih kode untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali.
Disamping lima hal di atas yang secara umum lazim dikemukakan sebagai faktor terjadinya alihkode, sesungguhnya masih banyak faktor atau variabel lain yang yang dapat menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode. Penyebab-penyebab ini biasanya sangat berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam suatu masyarakat tutur serta bagaimana status sosial yang dikenakan oleh para penutur terhadap bahasa-bahasa atau ragam-ragam bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.
Menurut Widjayakusumah terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena:
1) kehadiran orang ketiga;
2) perpindahan topik dari nonteknis ke yang teknis;
3) beralihnya suasana bicara;
4) ingin dianggap terpelajar;
5) ingin menjauhkan jarak;
6) menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda;
7) mengutip pembicaraan orang lain;
8) terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia;
9) mitra berbicaranya lebih mudah;
10) berada di tempat umum;
11) menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda;
12) beralih media/sara bicara

Sedangkan penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda adalah karena:
1)      perginya orang ketiga;
2)      topiknya beralihnya dari hal teknis ke hal nonteknis;
3)      suasana beralih dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan;
4)      merasa ganjil untuk tidak berbahasa Sunda dengan orang sekampung;
5)      ingin mendekatkan jarak;
6)      ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa Sunda halus, dan berakrab-akrab dengan bahasa Sunda kasar;
7)      mengutip dari peristiwa bicara yang lain;
8)      terpengaruh oleh lawan bicara yang berbahasa Sunda;
9)      perginya generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda;
10)              merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum;
11)              ingin menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda;
12)              beralih bicara biasa tanpa alat-alat seperti telepon.[4]
Tampaknya penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
B.     Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar sehingga seringkali sukar dibedakan. Malah Hill dan Hill (1980:122) dalam penilitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahualt di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode.[5]
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Namun, yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas.
Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawajawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).
Thelander (1976:103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.
C.     Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia yang kejawajawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.[6]
Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Untukn menjelaskan keterangannya itu Fasold memberikan contoh campuran bahasa Spanyol dan bahasa Inggris yang diangkat dari Labov (1971:457)
-         Mas happy, mas free, you know, pero si yo estoy con mucha
(lebih bahagia, lebih bebas, tahu kan, tetapi saya dengan banyak)

Berdasarkan kriteria kegramatikalan, maka dari awal sampai kata pero merupakan serpihan bahasa Spanyol. Kata happy, free, dan you know dipinjam dari bahasa Inggris.
Contoh kedua yang dikemukakan Fasold diangkat dari Velma (1976:158) yang melibatkan hubungan bahasa Hindi dan bahasa Inggris. Teksnya berupa:
Vinod : mai to kuhungaa ki yah one of the best novels of the year
             (saya akan mengatakan bahwa ini adalah salah satu novel terbaik   tahun ini)
   Mira : That’s right. It is decidedly one of the best novel of year
                 (benar. Diputuskan novel itu memang novel terbaik tahun ini)
            Perkataan Vinod terdiri dari dua buah klausa. Yang satu berarti “saya akan mengatakan”: dan yang kedua berarti, “Ini adalah salah satu novel terbaik tahun ini”. Meskipun kata-kata dalam klausa kedua ini hampir semuanya kata-kata bahasa Inggris, tetapi secara gramatikal klausa itu adalah klausa bahasa Hindi, sebab klausa tersebut yang dimulai dengan pronomina yah dan memiliki kata mai dalam posisi akhir klausa (yang meskipun terletak di depan tetapi secara gramatikal bahasa Hindi berfungsi sebagai akhir klausa). Meskipun ucapan Vinod itu mengandung frase yang panjang dalam bahasa Inggris, tetapi jika terjadinya alih kode itu memenuhi persyaratan gramatikal “seluruh klausa dialihkan”, namun kita lihat ucapan Vinod di atas seluruhnya (secara gramatikal) dilakukan dalam bahasa Hindi, dengan frase pinjaman dari bahasa Inggris. Karena itu, sebenarnya alih kode baru terjadi dengan ucapan Mira, orang lain. Dalam hal ini dapat dikatakan alih kode yang terjadi dalam satu kesatuan wacana, meskipun penuturnya berbeda


[1] Sosiolinguistik suatu pengantar, Abdul Chaer dan Agustina, 1995, hal: 141
[2] Ibid : 143
[4] Ibid: 149
[5] Sosiolinguistik suatu pengantar, Abdul Chaer dan Agustina,2010 , hal: 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar